Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENCARI PAHLAWAN DI KAPUNG PARA PEJUANG

sabdarianada.co.id.-Ada kisah menarik yang diangkat Bapak Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Alqu'an, Mizan 2008 prihal seorang Raja dengan sesendok madu. Perlu rasanya kisah tersebut dikemukakan kembali di sini mengingat banyaknya yang bersesuaian dengan nyata kehidupan kita.


Lilik Indrawati, Jurnalis terbaik I Jawa Timur Tahun 2017
Dikisahkan,  setelah mendengarkan laporan dan pandangan panjang lebar  dari para Manterinya ahirnya Sang Raja mengeluarkan Perintah untuk menjajaki tingkat kepatuhan dan simpati Rakyanya. 

Perintahnya sebenarnya mudah, murah bisa dilakukan oleh siapa saja yang berhati pasrah, tetapi mudah pula dihindarkan bahkan diselewengkan oleh mereka yang berhati gundah. 

Diperintahkan, pada malam yang telah ditetapkan setiap warga wajib  membawa satu sendok madu dan dituangkan kedalam Bejana besar yang nantinya akan dipersiapkan di atas bukit yang sepi di tengah-tengah kota. 

Perintah ini jelas, tegas, lugas disampaikan melalui berbagai Media mulai dari Telivisi, Medsos, surat kabar, baleho, bahkan para Muballigh, Khatib Jum'at, para Guru turut juga menyampaikan di wilayah kerjanya masing-masing.

Terbesit dihati salah seorang warga (sebut saja namanya TO) keinginan untuk mengelak. Untuk apa susah-susah membawa madu. Saya akan membawa teh saja warnanya serupa. Kegelapan malam akan melindungiku dari pandangan banyak orang.

Lagi pula hanya satu sendok, tidak akan berpengaruh apa-apa untuk satu bejana Madu yang kelak akan dibawa oleh seluruh warga kota.

Tiba saat yang ditentukan. Apa yang terjadi..? oh amboy, bejana Raja terisi penuh oleh air. Rupanya semua warga berpikiran sama seperti TO, berharap warga lain membawa madu untuk membebaskan diri dari tanggung jawab.

Betapa kejadian serupa sangat sering terjadi dalam keseharian kita. Pengabaian kewajiban dengan harapan ada orang lain melakukan, telah menyebabkan banyak hal terabaikan. 

Kenapa Fasilitas publik mudah usang..? karena setiap pengguna sembarangan, beranggapan toh ahirnya diganti yang mapan. Kenapa sampah-sampah berserakan..? kerena kita suka buang sampah sembarangan, toh nanti pasti ada yang membersihkan. 

Kenapa banyak pekerjaan tidak terselesaikan..? karena kabanyakan orang merasa, sudah ada orang lain yang lebih memiliki kewenangan. Kenapa Shalat berjemaah sepi..?  Farduh kifayah, para santri sudah mengerti  yang lain pasti sudah antri.

Kanapa kalau pertemuan kita enggan duduk di depan..? karena kita takut mendapat wewenang, dan seterusnya. Semua bermula dari ketiksanggupan kita untuk menjadi pelaku pertama yang baik. Susahnya mencari PAHLAWAN meski di Kampung para PEJUANG.

Para Penguasa itu Pejuang, tapi belum tentu mereka pahlawan selama masih suka mencari kambing Hitam. Para Pengusaha itu Pejuang, tapi belum tentu mereka Pahlawan selama masih senang melihat Pengangguran.

Ulama/kiai itu Pejuang, tapi belum tentu mereka Pahlawan selama masih suka mencari Sumbangan.
Guru/Dosen itu Pejuang, tapi belum tentu mereka pahlawan selama masih ada kelas kosong terabaikan.

Mahasiswa/siswa/santri itu Pejuang, tapi belum tentu mereka Pahlawan selagi masih banyak sampah berserakan. Para Suami itu Pejuang, tapi belum tentu mereka Pahlawan selama masih suka memata-matai rumah Tangga orang. Para istri itu juga Pejuang, tapi belum tentu mereka Pahlawan selagi masih ada sisa makanan terbuang.
Sulitnya mencari PAHLAWAN
kendati semua orang telah mengaku dirinya PEJUANG.

Semoga Allah mengampuni kita semua. Amin.

Teruntuk Anakku
MELYNIA ROSYADA









Posting Komentar untuk "MENCARI PAHLAWAN DI KAPUNG PARA PEJUANG"