Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

GAGAL MI'RAJ, ENGGAN MELAKUKAN SHALAT

sabdarianada.co.id. Tidak seperti lazimnya  hari-hari besar Islam yang biasanya selalu ramai, Perayaan Isra' Mi'raj terbilang sangat sepi. Kalah jauh jika dibandingkan misalnya dengan Maulid Nabi apalagi dengan Idul Fitri dan Idul Qurban. Lebih lucu lagi penetapan tanggal Isro' Mi'raj tahun 2018 ini sempat menimbulkan ambiguitas. Pasalnya ada dua kalender dengan hari yang berbeda. Ada kalender yang mencantumkan 27 Rajab jatuh pada hari Jum'at,13 April 2018, ada pula yang mencantumkan pada Hari Sabtu, 14 April Tahun yang sama. Bahkan ada juga Kalender yang pada kedua Tanggal tersebut sama-sama berwarna merah (libur)
Akibat ketidakpastian hari libur Isro' Mi'raj ini, dikabarkan masyarakat Ibu kota sebagaimana dilaporkan oleh Tribun pusat sempat heboh. Penyebab kehebohan tersebut bukan karena mereka kebingungan kapan harus merayakan Isro' Mi'raj, tapi bingung kapan sebenarnya harus libur kerja. Mungkin karena tidak sesensitip penentuan awal dan ahir puasa, para pengrajin Kalender sekedar asal suka di dalam menetapkan hari pelaksanaan Isro' Mi'raj.

Sebagai peristiwa luar biasa atau meminjam istilahnya Abu Abdurahman al Mishri (2008) sebagai lawatan Bumi Langit, Kebenaran Isro' Mi'raj memang tidak diragukan lagi oleh mayoritas Muslim dibebagai belahan bumi. Menurut para ahli tidak kurang dari 16 orang Sahabat yang telah meriwayatkan Hadist berkenaan dengan peristiwa tersebut. ini berarti bahwa peristiwa Isra' Mi'raj  adalah Ma'lum fiddiini bid doruroh ( perkara yang disepakati oleh umat Islam di setiap masa). Pengingkaran terhadap kebenaran peristiwa  tersebut menyebabkan seseorang jatuh pada kekufuran. 


Akan tetapi kapan persisnya peristiwa itu terjadi.? baik Tanggal, bulan maupun tahunnya para ulama' berselisih pendapat hingga kini. 

قال ابن حجر عن ابن دحية: وذكر بعض القصاص أن الإسراء كان في رجب  قال: وذلك

“Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ibnu Dahyah bahwa suatu ketika diceritakan kepadanya tentang cerita bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Beliau (Ibnu Dahyah) berkata: Hal itu tidak benar.” 

قال ابن رجب: وروي بإسناد لا يصح  عن القاسم بن محمد  أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب  وأنكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Ibnu Rajab berkata: Dan diriwayatkan dengan sanad yang tidak sahih dari Laqosim bin Muhammad bahwa Isra’ nya Nabi SAW terjadi pada tanggal 27 Rajab, akan tetapi hal ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbiy dan yang lainnya.” 


Ibnu Abdil Barr dalam Ad Durar meriwayatkan kalau Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 17 Ramadan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi tanggal 27 Rabiul Awal.


Syaikh Ibnu Taimiyah dalam menyikapi riwayat-riwayat yang berbeda tentang kapan terjadinya Isra’ Mi’raj berkata: ”Tidak ada dalil yang kuat tentang bulan dan tanggal terjadinya Isra’ Mi’raj dan riwayat yang ada semuanya terputus dan berbeda-beda dan tidak ada yang paling kuat".[1]


Kenyataan inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab kenapa Umat Islam menjadi tidak bersemanagat merayakan Isra' Mi'raj. Padahal sebagaimana kita tahu kewajiban utama Umat Islam yang berupa Shalat lima Waktu adalah produk utama Isro' Mi'raj. Kertika kulit diabaikan isinyapun cenderung dilupakan. Maka terjadilah Gagal Mi'raj karena enggan melakukan Shalat atau Gagal Shalat karena kita juga gagal melakukan Mi'raj.

Kenapa Haji begitu diminati? karena Idul Adha juga digemari. Kenapa puasa ramadhan sangat dihormati, walaupun belum semua orang bisa mematuhi, karena Idul fitri selalu dinanti. Kenapa ghirah bershalawat begitu sangat  tinggi? karena kita selalu merayakan Maulid Nabi. Kanapa semagat membaca dan menghafalkan Alqur'an semakin bergairah? karena Nuzulul Qur'an selalu dipermegah. Diterima tidaknya sebuah peroduk selalu berawal dari perawatan kulit dan cara pengkemasan yang juga baik.

Ditambah lagi dengan kebiasaaan membid'ah-bid'ahkan dari sebagai orang yang mengaku dirinya ahli. Umat ini terlalu sering disibukkan dengan perdebatan boleh tidaknya melakukan  Keshalehan yang belum ada ketentuan pastinya di dalam Alqur'an maupun Sunnah Nabi. Jika segala sesuatu harus selalu pernah dilakukan dan dicontohkan Nabi, memangnya nabi sempat. Kalaupun Nabi sempat misalnya, mungkinkah Nabi selalu Ingat. Taruhlah kanjeng Nabi selalu sempat dan selalu Ingat, bisakah dijamin Nabi selalu sehat..?

Andaikan Rasulullah menginginkan dirinya sebagai penentu tunggal semua ketetapan, tentu Nabi tidak akan pernah bermusyawarah dengan Para Sahabatnya dalam menghadapi persoalan-persoalan tertentu yang dianggap pelik. Kenyataannya Nabi rajin sekali bermusyawarah, bukan hanya dalam urusan agama tapi juga menyanggkut pribadi dan masalah keluarganya sendiri. Lihat misalnya bagaimana Rasulullah menayakan satu persatu para sahabatnya, tentang apa yang seharusnya Nabi lakukan kepada Siti Aisyah dalam peristiwa Haditsul ifki. 

Kemudian dalam bagian lain Nabi juga tidak jarang bersepakat dengan gagasan para sahabat yang atas Ijtihatnya sendiri melakukan Keshalehan yang tidak dicontohkan Nabi.Seperti sahabat bilal yang selalu melakukan Shalat Sunnat setiap kali selesai Wudhu', Nabi tidak melarangnya bahkan memuji bilal dengan mengatakan bunyi Terompah Bilal sudah terdengar di Surga buah dari Shalat sunat setelah wudu' yang Bilal lakukan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang menguatkan betapa kanjeng Nabi sangat menghargai praktek kesalehan tertentu yang dilakukan oleh para sahabat walaupun kanjeng  Nabi sendiri belum pernah mencontohkan atau melakukannya. 

ISRA' MI'RAJ DAN KEWAJIBAN SHALAT

Isra' adalah perjalanan jauh, yang dimulai dari Masjidil Haram hingga di Masjidil Aqsha di Jerusalem.  Sedangkan yang dimaksud dengan Mi'raj adalah perjalanan naik kelangit tujuh hingga sampai di Sidratul Muntaha, suatu tempat  yang tidak dapat dijangkau dengan pengetahuan manusia dan tidak diketahui hakekatnya oleh siapapun juga selain Beliau sendiri [2].

Muncul pertanyaan, Kenapa perjalan Isra' ke Baitul Maqdis?  Mengapa Mi'raj tidak dimulai langsung dari Masjidil Haram (Ka'bah) ke Sidratul Muntaha?
Pertanyaan ini membawa kita pada sejarah kuno, selama masa yang sangat panjang, Kenabian selalu berada di lingkungan Bani Isroil, dan Baitul Maqdis selalu menjadi tempat turunnya wahyu Ilahi.

Dengan demikian kehadiran Nabi Muhammad hakekatnya adalah penghubung antara masa kini dan masa silam, yang berusaha memadukan semuanya menjadi hakekat kebenaran yang satu. Masjidil Aqsha adalah tempat suci ketiga dalam Islam. Kesanalah nabi Muhammad menuju dalam perjalanan Isra' agar semuanya tahu,  betapa besar Penghormatan beliau kepada Ajaran keimanan yang pernah ada di masa lalu. 

Setibanya di Masjidil Aqsha Nabi dipersialahkan menjadi imam dalam  Shalat sunah yang diikuti oleh semua Nabi-Nabi terdahulu yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh Allah untuk menyambut kedatangan Nabi Muhammad di Masjidil Aqsha [3]. Pemamndangan ini memperjelas bahwa kenabian itu sebenarnya saling memperkuat dan saling membenarkan. Kenabian yang datang sebelumnya telah berjasa membuka jalan bagi kenabian yang akan datang di masa berikutnya. 

Sangat jauh bebrbeda dengan gaya kepemimpinan jaman kini. Dimana pemimpin sesudahnya biasanya selalu membrangus bahkan membunuh sama sekali karakter  pemimpin sebelumnya. Sehingga setiap usaha pembangunan selalu bermula dari anggka Nol, asal beda walau kadang hanya isapan jempol belaka. 

Sebagai pendatang baru yang memiliki semangat Fastabiqul Khairat, Nabi tidak cukup puas hanya dengan beromantisme dengan keberhasilan-keberhasilan di masa lalu yang diperlihatkan oleh para pendahulunya. Karenanya Nabi Muhammad ingin berjalan lebih jauh lagi melampoi dari yang dulu pernah terjadi, dengan melakukan Mi'raj (naik) dari Baitul Maqdis ke langit ketujuh sampai Sidratul Muntaha. 

Pada saat Mi'raj itulah Rasulullah menerima perintah Ilahi berupa Shalat Farduh lima kali sehari semalam. Ketentuan ini ditetapkan di langit, agar Shalat menjadi sarana Mi'raj yang akan mengangkat martabat manusia lebih tinggi, sanggup menundukkan hawa nafsu dan bujuk rayu keduniaan lainnya. 

Tidak lama setelah peristiwa Mi'raj,  Malaikat jibril datang menemui Nabi Muhammad saat berada di dataran Tinggi kota Mekkah. Malaikat Jibril menghentakkan tumitnya kesebuah lembah. Tiba-tiba, mata air memancar. Jibril berwudhu' mengajari tata cara bersuci untuk Shalat. Rasulullah memperhatikan, lalu Wudhu' mengikuti contoh yang diperlihatkan Malaikat Jibril. Malaikat Jibril berdiri melakukan Shalat dan Rasulullah mengikutinya. Lalu Rasulullah pulang menemui khadijah mengajari cara Wudhu' dan shalat bersamanya [4].

Shalat adalah gabungan dari ibadahnya para Malaikat. Menurut Assamarqandi, ada Malaikat yang ibadahnya hanya berdiri sampai terjadinya Kiamat. Ada juga yang senantiasa rukuk sepanjang waktu, ada juga yang terus-terusan sujud. Ada Malaikat yang Ibadahnya hanya mengelilingi Arasy, mensucikan dan memuji Allah serta memohonkan ampun untuk manusia. Allah menghimpun berbagai bentuk ibadah tersebut di dalam Shalat sebagai kemuliaan dan karunia besar untuk Umat Rasulullah yang beriman. Meraih ibadahnya para Malaikat dan menambahkannya dengan bacaan Alqur'an di dalamnya.

Karena itu mari ber Isra' Mi'raj agar kita tidak enggan melakukan Shalat. karena hanya dengan SHALAT kita bisa melakukan Mi'raj.
Semoga Allah mengampuni dan membimbing kita semua, Amin.

Teruntuk siapa saja
yang masih suka membaca

Sumber :
  1. Miftahul Ihsan, Benarkah Rasul memperingati Isro' Mi'raj, 2014
  2. Sirah Nabawiyah, Mohammad Nuh Al Ghazaly, 2008
  3. Abu Abdurahman Al Mishri, Air mata Nabi, 2008
  4. M. Rojaya Quantum Alqur'an, 2010
  5. Assamarqandi, Tanbihul ghafilin, 1986




Posting Komentar untuk "GAGAL MI'RAJ, ENGGAN MELAKUKAN SHALAT "