Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DIPANGGIL SYEH KARENA MEMBACA SHALAWAT FATIH

Usai melempar Jumrah Ula, wustha dan Aqabah
Pada Tanggal 11 Zdulhijjah 2014
Dari kanan H.Didik Sulaiman bersama Istri, Hj. Khirul Umam Plalangan, dan Hj. Zubaida Luthfiyah.
Lokasi Lingkungan Jamarat Mina


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِالْــفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ، وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلَى ألِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ

Artinya: “Ya Allah, limpahkan sholawat, salam dan berkah kepada Sayidina Muhammad, pembuka hal-hal yang terkunci, penutup perkara-perkara yang sudah berlalu, penolong kebenaran dengan kebenaran, dan penunjuk jalan kepada Jalan-Mu yang lurus. juga kepada keluarga dan para sahabatnya, sesuai dengan derajat dan kedudukannya yang tinggi."

sabdarianada.id. Di lingkungan Masyarakat Muslim Indonesia kita banyak sekali mengenal gelar-gelar kehormatan yang disematkan kepada seseorang yang dianggap Ahli (tokoh) Agama. Seperti Gelar Ustad, Kiyai, Ulama' dan Gelar Syeh.

Selain gelar Kiyai, tiga gelar lainnya ( Ustad, Ulama' dan Syeh) juga bisa kita temukan pada kehidupan Muslim Bangsa lainnya, terutama Bangsa Arab. Mereka juga terbiasa menyematkan gelar Ustad, Ulama' ataupun Gelar Syeh kepada seorang Tokoh yang dianggap telah mencapai martabat tertentu baik keilmuan maupun kesufian.

Sedangkan gelar Kiai sepertinya lebih bersifat lokal, hanya ada di Indonesia utamanya dilingkungan Masyarakat Jawa dan Madura. Penggunaannya pun lebih umum, tidak hanya terbatas pada gelar orang, tapi juga benda lain yang dihormati dan dianggap memiliki pengaruh tertentu. Seperti Nama Pusaka, nama Gamelan dan lain sebagainya.

Menurut KH. Mustofa Bisr. seseorang disebut kiai bukan semata karena ilmunya, tetapi terutama karena mereka adalah orang-orang yang melihat umat dengan kacamata kasih sayang (هم الذين ينظرون الأمة بعين الرحمة) . Kiai tidak tahan jika melihat orang bodoh, maka mereka pun mengajarkan ilmu. Para kiai itu tidak akan pernah tahan melihat ada orang susah, orang sakit, dan sebagainya.

Intinya sebutan kiai disematkan bagi orang-orang yang waskita, khususnya mereka yang mempunyai pengetahuan agama luas dan membimbing masyarakat dengan kasih sayang dan akhlak yang mulia.

Lalu apa bedanya Kiai dengan Syeh..? Gelar Syeh sepertinya lebih tinggi Martabatnya. Gelar Syeh dalam masyarakat Islam merupakan gelar kehormatan bagi para ulama. Gelar syeh biasanya disematkan pada seorang ulama dengan keilmuan agama Islam yang tinggi, mulai dari perilaku, perbuatan, dan sikapnya. Atau untuk orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan.

Dalam tradisi sufi, gelar syeh adalah gelar untuk para ulama yang sudah mendapatkan izin dari pemimpin tarekat untuk mengajar atau mengangkat murid dalam dunia tarekat. Di Indonesia sendiri, banyak tokoh-tokoh besar yang bergelar syekh. Misalnya, Syekh Siti Jenar, Syekh Ahmad Mutamakkin, dan Syekh Hasyim Asy’ari.

Sedemikian tingginya Martabat Syeh, sehingga menjadi terasa sangat lucu sekali apabila gelar tersebut disematkan kepada sembarang orang, hanya berdasar Standard Jasmaniyah. Akan lebih terasa lucu lagi, apabila gelar Syeh diberikan oleh orang Asing kepada orang Asing yang lain, tanpa pendekatan sebelumnya dan penelitian yang menyeluruh terhadap seluruh aspek kehidupannya.

Pengalaman menggelikan ini pernah saya alami sendiri, ketika pada Tahun 2014 saya melaksanakan Ibadah Haji bersama Istri Zubaida Luthfiyah.

Entah mengapa semenjak saya mengenal Shalawat Fatih pada Tahun 1985 yang lalu, saya senang sekali menjadikan Shalawat Fatih sebagai Doa Utama disamping Doa-doa lainnya.

Begitu pula ketika melaksanakan Ibadah Haji, hampir seluruh Doa di dalam buku Manasik saya ganti Shalawat Fatih. Thawaf membaca Shalawat Fatih, Sai Shalawat Fatih, demikian pula Ritual- ritual yang lain. Shalawat Fatih selalu saya baca dengan suara nyaring seperti kebiasaan orang-orang Arab yang nyaring ketika membaca Doa. Hingga pada suatu hari kejadian menggelikan itupun terjadi.

Waktu itu saya sedang melaksanakan Thawaf Umroh Sunah. Alhamdulillah, selama di Mekah hampir tiap malam saya melaksanakan Umroh. Biasanya saya berangkat tengah malam dengan mengambil Miqot di Tan'im, hanya sesekali ke Ji'ronah jika ada teman yang mengajak.

Ke Tan'im jaraknya lebih dekat. Hanya dengan 10 Real per orang, kita tidak akan kesulitan mencari Taxi yang bersedia mengantar kesana. Sebelum Subuh biasanya semua Ritual Umroh ( Thawaf, Sai dan Tahallul) sudah bisa selesai.

Seperti ketika Thawaf pada hari-hari sebelumnya, malam itu saya juga membaca Shalawat Fatih dengan suara nyaring, sambil bengak bengok menyelesaikan putaran demi putaran.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ada orang kulit Hitam dengan perawakan tinggi besar menggunakan Kopyah putih kotak- kotak mendekat. Jarak sekitar Satu meter, dia melambaikan tangan dengan senyum yang sangat tulus sekali menyapa " Ya Syeh Indonesia, Ya Syeh Indonesia", begitu dia berulang-ulang menyapa saya sambil terus melambaikan tangannya. Saya pun membalas lambayan tangannya tanpa tahu harus menjawab apa. Saya menduga dia melakukan hal tersebut karena kekagumannya kepada Shalawat Fatih yang saya baca.

Peristiwa ini mengajari saya, PERTAMA agar jangan malu-malu menunjukkan edintitas diri dimanapun kita berada. Dengan menunjukkan identitas, kita akan lebih mudah mencari saudara walaupun berasal dari Negara yang berbeda.

KEDUA, Kharisma Syeh Ahmad dengan Thariqoh Tijanianya begitu sangat dikenal hampir diseluruh Dunia Islam. Sehingga orang-orang yang mengamalkan ajarannya juga dianggap orang-orang yang luar biasa.

Semoga Allah membimbing dan menerima Ibadah kita, Amin

Posting Komentar untuk "DIPANGGIL SYEH KARENA MEMBACA SHALAWAT FATIH"