Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENERAWANG INDONESIA DARI WARUNG DEKAT REL KERETA

Warung lesehan dekat Rel Kereta
Api Timoho Yogyakarta

Sabdarianada.Id | Umumnya Mazhab Syafi'i menyatakan orang yang suka nongkrong di warung-warung  termasuk kategori manusia yang tidak adil. Sacara fiqih manusia jenis ini tidak boleh menjadi saksi pernikahan. Walaupun tidak sampai menyebabkan batalnya akad nikah yang dilaksanakan, mayoritas ulama Syafiiyah menyarankan, apabila meragukan sebaiknya dicarikan saksi lain yang secara moral lebih terjaga. Mungkin yang dimaksud mazhab Syafii adalah warung hitam atau mungkin warung remang-remang yang kerap kali menyediakan hal-hal yang dilarang oleh syara'. 

Kenyataannya walaupun tidak bisa dibilang banyak, ada beberapa tokoh Nasional bahkan salah satunya  ulama, yang punya kegemaran makan di warung-warung kecil pinggir jalan. Kita sebut saja misalnya KH. Abdurahman Wahid. 

Mantan Presiden RI ke 4 itu disebut-sebut sering mampir ke warung Nasi kikil Abang dan warung Rujak Cingor bu Bokin setiap kali pulang ke Jombang. Sumber lain juga menyebutkan Gus Dur juga sering makan di  Warung Tahu Tek Pak Yong, yang terletak di Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur. Bahkan ketika masih  ngantor di PBNU Gusdur dikabarkan hampir 3 kali seminggu makan di Rumah makan Padang Sederhana yang  lokasinya dekat dengan kantor PBNU Jl. Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, hanya sekitar 500 meter, yakni di Jl Raden Saleh No 29. Sumber ini menceritakan, setiap kali makan Gusdur tidak pernah memgambil uang kembaliannya. Beliau biasanya memberikannya kepada pekerja warung.

Tokoh lain yang juga diberitakan sering makan di warung-warung kecil pinggir jalan adalah bos jalan tol Jusuf Hamka dan bos Djarum, Michael Bambang Hartono. Untuk urusan makan,  keduanya dikabarkan lebih sering menikmati makanan di warung pinggir jalan dibandingkan restoran mewah. 

Belakangan juga banyak beredar vidio-vidio yang memperlihatkan Kang Dedy Mulyadi (KDM) Gubernur Jawa Barat mendatangi warung-warung pinggir jalan, mulai dari melakukan penertiban hingga mentraktir orang-orang yang beliau temui di sana. 

Berselonjor lesehan di pinggir jalan sesungguhnya sangat mengasyikkan. Selain harga makanan relatif lebih murah dibandingkan makan ditempat lain, kita juga bisa merasakan, mendengar dan melihat banyak hal. Mulai dari pembanbangunan infrastruktur yang tidak kunjung usai, jalanan macet yang semakin sulit diurai, hingga dampak banjir yang nyaris terlihat hampir di setiap ruas jalan. Belum lagi keluh kesah masyarakat lapisan  bawah yang menjadi pelanggan setia warung-warung di sana. 

Kalau boleh jujur yang benar-benar penduduk asli indonesia adalah mereka yang tiap harinya nongkrong dan makan di pinggir jalan, bukan orang yang makan di restoran mewah dan tinggal di apartemen megah. Sejatinya pembangunan yang sering kita bicarakan akan diperuntukkan buat mereka, kenyataannya mereka lebih sering hanya menjadi penonton bukan penikmat. 

Apa gunanya jalanan dibikin mulus bagi para pejalan kaki. Apa perlunya membangun pemukiman mewah buat mereka yang tidak mampu membayar sewa, dan apa untungnya membangun sekolah bertaraf internasional bagi anak pemulung yang tidak mampu membayar uang gedung ?

Hanya dengan membersamai,  kita bisa tahu apa yang mereka butuhkan,  Dan tentunya hanya orang-orang yang bersedia menanggalkan baju kebesarannya  yang sanggup melakukan ini semua.


LESEHAN DI SEBERANG REL KERETA

Kalau tidak salah ingat,  saya kali ke 2 nongkrong ditempat ini, warung lesehan di seberang Rel Kereta Timoho Yogyakarya,  setelah 7 tahun lamanya anak saya menempuh study di sana. Tentu bukan karena terinspirasi para tokoh yang saya sebutkan tadi, dan bukan pula sedang terobsesi mengikuti jejak mereka. Kebiasaan nongkrong sudah ada semenjak saya nyantri. Di mana lagi dapat hiburan gratis kalau bukan dipinggir jalan, meminjam istilah para santri, hitung2 sambil cuci mata, hahahay. 

Menu yang ditawarkan cukup familiar hampir di semua lidah masyarakat indonesia kelas menengah ke bawah. Nasi lalapan ayam goreng/bakar, lele goreng/bakar, tahu-tempe goreng/bakar, ada juga yang belakangan cukup populer, lalapan telor dadar bakar ditambah sambel ijo dengan aroma pedas yang cukup menyengat. Pasti yang baca tulisan ini juga ikut-ikutan ngiler. 

Warung lesehan yang didesain tanpa tenda ini,  membuat angin malam begitu leluasa membelai-belai seluruh permukaan tubuh kita, sambil sesekali dimeriahkan oleh gemuruh kereta Api yang lewat. Aneh memang, sesuatu yang biasanya terasa bising berubah menjadi sangat indah di telinga. Berarti yang berbeda adalah kesiapan kita untuk menerima. Ketika kita mau berlapang dada dan siap menerima semua yang ada, deritapun akan terasa surga. Begitu juga sebaliknya, kenikmatan surga tidak akan berarti apa-apa selagi sifat tamak tetap bersarang di dada. 

"Katapak kadebuk tutuuut, katapak kadebuk tutuuuuut", suara ini terasa sangat khas setiap kali ada kereta melintas. Saya merasakan bunyi itu sarat muatan mistis, tak kalah mistriusnya dengan suara Genta yang manandai kehadiran Malaikat pembawa berita-Jibril, AS ketika menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad sang Rosul pemuka. 

Sambil terus melamun tiba-tiba kesadaran saya teringat salah satu sabda Nabi yang sangat populer dikalangan santri : 

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

"Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara,  (1) Sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), (2) ilmu yang bermanfaat, (3) anak saleh yang selalu mendoakannya." (HR Muslim ) 

"Byaaaar....", seketika saya tersentak. Redaksi hadis ini menggunakan ( ابن أدم) anak manusia,  tidak menggunakan ( ابن المسلمين  atau مؤمنين ),  yang artinya berlaku umum baik muslim atau non muslim. Lalu saya berbisik pada anak saya, "Kereta Api ini adalah sisa-sisa Amal Jariyah Penjajah Belanda", 

"Iya ya....", jawabnya lirih. 

Kemudian terbayang satu demi satu peninggalan mereka, Pabrik gula yang hampir ada di setiap kota, jalan-jalan Pantura, kantor-kantor pelayanan publik seperti balai kota, pabrik kertas leces Probolinggo dan lain sebagainya. 

Saya semakin ciut, kemudian berbisik dalam hati, "jangan-jangan kita yang mengaku paling Muslimin dan Mukminin kelak di akhirat tidak memiliki apa-apa. Sementara Penjajah Belanda yang kita tuduh Kafir sangat berjaya karena karya dan peninggalannya hinga kini tetap manfaat dan terjaga".

Bagaimana nasib kita..?

Apa yang kita berikan untuk Indonesia.?

ENTAHLAH.....!!!

Yogyakarta, malam Jumat Pahing

30.Mei 2025

HASBIALLAH 








3 komentar untuk "MENERAWANG INDONESIA DARI WARUNG DEKAT REL KERETA"

  1. Ngennes, abek tak bisa aberrik pa napas untuk agama dan bangsa ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak jed genikah se berrek san ekapekker, mander mogeh beih bedeh paraddunah sanajjen sakonik

      Hapus
  2. Selalu terinspirasi Deri sampean kiai.keh mogeh sehat wal'afiat aamiin

    BalasHapus